Minggu, 29 April 2012

Mirror





“Bawa dia.” perintah si pria paruh baya pada 4 orang anak buahnya tadi. 2 orang mengawal Yoga dan membawanya ke mobil silver milik keluarganya, dan 2 orang lain mengambil alih motor spot yang tak lain adalah motor pribadi Yoga.
“Lepaskan! Aku bisa masuk sendiri!” teriak Yoga. Dan ia terpaksa masuk ke mobil keluarganya dengan perasaan yang sungguh tidak menyenangkan.
“Langsung ke gereja.”

Perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Seolah tidak ingin seorang pun melihat kesedihannya. Beberapa saat kemudian, ia mengambil handphone yang tergeletak di samping kanannya, dengan tangan yang bergetar.
Ia melihat satu demi satu daftar nomer yang tersimpan di ponselnya. Jemarinya bergetar lebih hebat ketika akan memencet tombol hijau pada tuts ponselnya itu, mengangkatnya sampai ke daun telinga, dan memencet tombol merah tak lama kemudian. Mengurungkan niatnya.
Entah untuk yang keberapa kali ia memandangi –sembari berpikir- daftar nomer di ponselnya itu dari nomer 1 hingga nomer 1 lagi. Bimbang.
Kemudian, dia melirik ke arah laptop di atas meja, tak jauh darinya. Berpikir terlebih dahulu sebelum ia bangkit dari tempat tidurnya. Berpikir lagi, dan lagi. Berharap kali ini dia tidak melakukan kesalahan sedikit pun.
***
Yoga memasuki gereja dengan langkah tak pasti. Rasanya ingin sekali dia berlari dari tempat ini, atau bahkan berlari dari dunia ini. Tapi kali ini, kekuatan mentalnya seakan melayang entah kemana. Hingga ia tak mampu membantah orang tuanya lagi.
Tangannya membenarkan dasi yang dipadukan dengan tuxedo putih miliknya –sewaannya, walau sebenarnya dasi itu sudah sangat rapi. Sesekali, ia menelan ludahnya sendiri dan menahan peluh yang mengalir dengan lambat dari pelipisnya.
Ia memicingkan matanya sejenak. Mencari tahu sudah sejauh manakah Taya yang akan menjadi pendamping hidupnya itu melangkah.
Tap.. tap.. tap..
Dia meluruskan pandangannya ketika Taya yang ia maksud menghentikan langkah di hadapannya. Ada rasa canggung yang sangat di saat dia berhadapan dengan Taya ini.
Taya berbalut gaun putih yang anggun. Dengan riasan yang memancarkan aura kecantikannya. Gaun yang ia kenakan begitu pas hingga membuat lengkuk tubuhnya terlihat. Gaun itu menjuntai ke belakang dengan panjang sekitar satu meter. Tampak menawan.
Dina?!
Yoga nyaris menjerit girang dan melompat tidak karuan layaknya anak kecil ketika memenangkan game paling sulit di dunia ini. Entah kenapa matanya menampilkan wajah cantik seseorang yang sudah memenuhi hatinya. Namun, entah untuk yang keberapa kalinya, ia harus menerima dengan lapang dada kalau ini hanyalah ilusi semata.
“Ehm..”
Tiba-tiba deheman pastur yang.. errr… sebenarnya tak cukup keras, tapi dapat membawa pria kelahiran Prabumulih itu sadar kembali. Dia pun –terpaksa- memandang wajah Taya yang berdiri tegak di hadapannya tersebut. Ia meneguk ludahnya sendiri dengan lambat. Nampak sangat gugup walau pasangannya tersenyum manis.
Tangannya terasa bergetar saat mengenakan cincin bertabur berlian ke jemari manis itu. Dalam keadaan lain, semua undangan bersorak gembira, ikut merasakan kebahagiaan yang –mungkin- dirasakan pasangan tersebut. Tapi, rupanya ada seorang yang tidak menampakkan rasa senang secuil pun di air mukanya.
“Ternyata memang sakit..” gumamnya tak jelas.
***
“Hei.. Kamu mau kemana?” nada dalam pertanyaan Taya cukup tinggi, membuat Yoga terpaksa menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah Taya . “Tidur. Kau pikir mau apa?” lalu keluar dari kamar dengan cepat.
Si Taya berlari kecil mengejar Yoga yang telah masuk ke kamar yang lain.“Tapi kenapa tidak di kamar kita?” menekan kata ‘kita’ dalam ucapannya.
Yoga meletakkan kopernya ke lantai tanpa melirik sedikit pun ke koper tersebut. Membuat sebuah suara hentakan yang agak keras. Menghela napas ketika membalikkan tubuh seksinya. “Kau pikir aku mau tidur bersama Taya yang sama sekali tidak aku cintai, bahkan tidak aku kenal?” sembari melipat kedua tangannya di depan dada, membuat Taya di hadapannya sedikit tersentak.
“Tapi kan kita sudah menjadi suami istri!” sang istri maju selangkah, mencoba berani walau nyatanya, jantungnya berdegup dengan kencang.
“Dengar ya, Tiara Windri, atau siapalah namamu itu. Tidak peduli apa status kita, apa hubungan kita, aku tidak pernah dan tidak akan pernah sudi untuk sedikit pun menyentuhmu, kau mengerti?! Baiklah, selamat malam!!!” hentak Yoga dengan keras agar Tiara Windri  dapat mencerna perkataannya dengan sangat lancar, Yoga sukses besar.
Ia meninggalkan pertengkaran kecilnya dengan menjatuhkan diri ke tempat tidur queen size itu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
Taya mematung di tempatnya berpijak. Mulutnya membentuk huruf O dengan pandangan yang nyaris kosong. Suara Taya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat yang meluncur dengan mulus dari mulut Yoga benar-benar bagai petir di siang bolong. Sama sekali tak pernah ia bayangkan orang yang selama ini –diam-diam- ia cintai tega bersikap seperti itu kepadanya.
***
Sinar sang mentari pagi menembus jendela berkaca transparan. Membuat gordennya agak berkibar di saat udara pagi yang dingin berhembus pelan. Mencoba mengintip seorang Taya yang belum tersadar dari tidur lelapnya. Tak lama kemudian, Taya menerjap-nerjapkan kedua matanya. Menerima sinaran matahari yang mulai meninggi.
Ia duduk sejenak. Mengucek kedua matanya lalu memiringkan kepalanya ke sumber cahaya.
“Siapa yang menyibakkan gorden jendelanya? Yoga? Mungkinkah?!”
Taya lalu berjalan dengan gontai menuju pintu kamar.
Ia mendesah saat tangan kanannya menggenggam kenop pintu  perunggu. Otaknya memutar kejadian yang menimpanya malam tadi. Tiba-tiba, ada rasa takut yang mulai menjelajahinya, membuat tubuhnya sedikit bergetar.
Ia lalu menghela napas berat dan menegakkan posisi berdirinya.
“Kreeet..”
Terdengar suara decitan kecil saat pintu kayu itu didorong terbuka. Menampilkan seorang yeoja dengan wajah juga rambut yang agak berantakan. Matanya terlihat sayu, dengan tidak langsung memperlihatkan apa yang kemarin ia lakukan.
Tentu saja menangis. Apa lagi?
Kemudian, dia melirik ke arah jam yang bertengger di dinding biru langit. Pukul 9 pagi. Apa pria yang tak punya hati tadi sudah berangkat bekerja? Atau masih terlelap di kamarnya?
Kreeet..
Suara berdecit itu kembali terdengar. Tapi kali ini lebih pelan dan agak lambat. Taya menghela napas ketika melihat yang tersisa di atas tempat tidur milik Yoga hanyalah bantal dan selimut yang sudah tertata rapi.
***
Langkah yang terseok membawa Taya menuju kamar mandi. Ia membasuh mukanya yang lusuh dengan air yang tidak hangat juga tidak dingin. Berharap semoga air itu bisa menghapus sisa air mata tak bergunanya.
Tiba-tiba sebuah ringtone menggema di rumah yang sepi itu. Taya pun bergegas merampungkan aktivitasnya dan menuju kamarnya dengan langkah tergesa.
“Selamat Pagi..” ucap Taya setelah menekan tuts hijau di ponselnya. Suaranya masih agak parau.
“Kau baik-baik saja, Taya?”
“Oh.. tentu saja, Ibu. Ada Apa?” kini suaranya terdengar membaik.
“Ah.. mungkin hanya perasaanku saja. Bagaimana pernikahanmu?”
“Maksud ibu? Aku baru menikah 24 jam yang lalu..” Taya sedikit mendelik.
“Ehem.. maksudku, malam pertamamu..” Sang Ibu sedikit membisik saat mengatakannya.
“Ooh.” Taya duduk di sudut tempat tidurnya, dan menatapnya kosong.
“Hei, kenapa kau jadi tidak bersemangat? Apa kalian belum melakukannya?” ibu mulai curiga.
“Sebenarnya.. kemarin aku sangat lelah, jadi aku langsung tidur.”
Bohong!
“Aish, bagaimana kau ini..”
“Sudah lah, ibu. Oh iya,  banyak pekerjaan rumah yang belum aku selesaikan. Selamat Pagi....”
Tut..tut..tut..
Setelah itu yang terdengar di ponsel Ibu Taya hanyalah suara sambungan telefon yang diputus, membuat Ibunya berdecak kesal atas kelakuan anak putrinya itu.
FLASHBACK
Tangan yang putih meraba-raba meja kayu yang agak berantakan. Mencoba mencari benda miliknya yang sedari tadi belum berhenti mengeluarkan suara bising yang cukup memekakkan telinga.
Pip!
Akhirnya berhenti juga.
Yoga mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia mengangkat ponsel dalam genggamannya hingga sejajar dengan kedua matanya, sehingga ia dapat membaca angka yang tertera pada ponsel ber-chasing silver itu.
06.00 a.m
Ia kembali meletakkan ponselnya, melipat selimut dan merapikan tempatnya tidurnya.
Cklek,
Tangannya memutar kenop pintu kamar Taya. Membukanya perlahan, kemudian memasukinya. Ia berharap, langkahnya tidak menimbulkan suara yang keras hingga Taya terbangun. Ia pun tidak tau kenapa ia sudi masuk ke kamar itu.
“Yoga..”
Ia mendelik ketika Taya menyebut namanya dengan fasih. Tapi untungnya, Taya hanya mengigau dan kembali terlelap.
Entah apa yang membuat Yoga tertarik melirik Taya itu. Memandang sejenak wajahnya yang manis. Ya. Yoga mengakui kalau Taya adalah istri yang cantik juga manis. Dan selalu membuatnya seperti melihat wajah Dina di saat melihat wajah Taya ini.
Tunggu.
“Tergantung.. kalau orang itu cantik dan manis, mungkin aku bisa belajar mencintainya..” 
Tiba-tiba saja perkataan Ilham tempo hari terngiang di benaknya. Tapi dapat kah ia seperti Ilham?!
Yoga mengetuk kepalanya sendiri. Sungguh sial. Kenapa pikiran itu terputar lagi di dalam otaknya?! Membuat perasaan janggal tumbuh di hati Yoga. Ada rasa kesal di dalam hatinya.
“Kalau saja Taya tidak menyetujui perjodohan kami, sungguh aku tidak akan pernah menikahinya.”
Lagi-lagi, ia berpikir bodoh. Entah sudah keberapa kali.. ia menyalahkan sesuatu yang sebenarnya tak patut untuk disalahkan. Tapi tetap saja, ia tak mampu melawan rasa benci yang beranjak tumbuh di dalam dirinya.
“Suamiku...”
Yoga tersadar ketika Taya menggeliat kembali sembari menyebut namanya. Entah kenapa, ada rasa tidak suka dan tidak setuju jika Taya memanggilnya dengan sebutan ‘Suamiku’
“Ah!”
Yoga menyadarkan diri dari lamunannya. Sepertinya ia terlalu lama berbicara pada dirinya sendiri. Ia pun mengalihkan pandangannya ke jendela yang masih tertutup rapat. Membukanya perlahan dan menyibakkan gordennya agar cahaya matahari dapat menerobos kaca jendela yang transparan.
FLASHBACK END
Kenapa?
Kenapa saat aku memandang wajahnya, yang terlihat di bola mataku malahan wajah Taya? Kenapa saat aku berbicara dengannya, hanya kata-kata kasar yang keluar dari mulutku? Dan kenapa saat aku mencoba mencintainya.. justru rasa benci yang mengoyak hatiku…
Seperti ada sesuatu yang terkubur dalam di hatiku. Perasaan yang mencoba mendobrak hatiku agar aku bisa meluapkannya. Tapi.. apa perasaan itu?
Cinta kah?! Tapi terdengar seperti… kebencian.
“Hei.. apa yang terjadi dengan pengantin baru itu? Sedang mengingat-ingat malam pertamanya kah? Haha..”
Sebuah tawa menyadarkan Yoga dari lamunannya. Ia memiringkan kepalanya, dengan malas mengintip makanan yang ternyata hanya berjarak 2 meter dari tempatnya duduk. Yoga pun hanya dapat tersenyum hambar. Tidak berniat membalas sindiran teman-temannya itu.
***
“Aku pulang.”
Yoga melepaskan sepasang sepatu kerjanya dan menaruhnya di rak sepatu. Ia mengganti alas kakinya dengan sendal rumah. Ia pun langsung menuju kamarnya, menaruh tas laptop hitamnya, lalu menuju wastafel.
Terdengar suara gemerisik saat air keran jatuh menghantam permukaan wastafel yang putih. Yoga membasahi wajahnya dengan air keran itu. Memberi harapan kepada dirinya sendiri, semoga air itu dapat mengembalikan semangatnya, walau pun ia tau, semangatnya tidak akan kembali seperti saat sang mentari muncul dari persembunyiannya tadi. Tapi, tidak salah bukan jika ia berharap?
Yoga merebahkan dirinya ke kasur. Memejamkan matanya hingga yang dapat ia lihat hanyalah kegelapan. Mengingat-ingat segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan, walau merasa cukup terganggu dengan nyanyian penggorengan.
Beberapa detik kemudian, ia segera bangkit setelah merasa semangat yang ia bangun sudah cukup. Menuju lemari pakaian dan mengambil sebuah kaos oblong dan celana selutut. Mengganti pakaian resminya dengan baju bebas tersebut.
***
Detik berganti dengan detik, menit pun sudah berlalu entah untuk yang keberapa. Tarian jari-jari yang putih itu masih asyik berduel dengan keyboard hitam. Memecah keheningan malam, mengabaikan hembusan nafas udara yang dingin.
“Suamiku.. kau pasti lapar. Aku sudah selesai memasak untukmu!” seru Taya. Masih menggenggam tepi piring dengan kedua tangannya. Ia mendekat kembali ke arah Yoga yang tidak sedikit pun menoleh bahkan melirik ke arahnya.
“Suamiku.. ayo makanlah..” Katanya lagi. Duduk di samping kanan Yoga yang nampak asik dengan pekerjaannya. Taya mendesah sebal kali ini. Memandang wajah Yoga dari arah samping. Nampak begitu menawan.
Taya mengangkat satu sendok logam yang sudah penuh dengan nasi goreng. Mendekatkannya ke arah Yoga. “Suamiku, Aaa..aa..”
PRAAANG!!!
Piring putih itu terbelah menjadi beberapa keping. Serpihan piring dan ceceran nasi menyebar tak jauh dari sana. Membuat Taya mendelik atas perlakuan suaminya itu.
“Bisakah sedetik saja tidak menggangguku, hah?! Apa itu hobi barumu?? Kau tidak lihat aku sedang sibuk?! ENYAH KAU!!”
Yoga langsung fokus ke laptopnya kembali, tak peduli akan air mata Taya yang belum berhenti mengalir, bahkan mungkin, Yoga tak akan peduli walau Taya mati sekali pun.
Petir lagi-lagi menyambar, masih enggan untuk menampilkan indah pelanginya. Itulah hal yang dialami Taya. Capek-capek dia memasak, membersihkan rumah, dan semuanya agar Yesung senang. Tersenyum setidaknya. Tapi kali ini sia-sia lagi.
Malam ini tidak jauh lebih baik dari tempo malam. Tak satu centi senyum kebahagiaan pun yang ditorehkan dari bibir tipis Yoga. Dan turut membuat Taya sulit untuk tersenyum.
***
Tidak terasa sang fajar sudah menyingsing di ufuk timur. Menembus celah-celah pepohonan yang tenang. Dan dengan malas membangunkan para makhluk hidup untuk menjalankan aktivitasnya.
Rasanya malam tadi begitu cepat berlalu, itu karena Taya terlebih dahulu menutup harinya. Ia tidak mau memperpanjang hari yang menyakitkan hati itu. Menanti mentari terbit hingga terbit kembali.
Taya menggeliat hingga wajahnya menghadap ke jendelan tanpa sengaja. Kali ini sinar sang mentari menyusup melewati celah-celah kaca jendela yang tidak tertutupi gorden. Ia membuka matanya dengan berat. Ia belum ingin beranjak dari tempat tidur itu.
Namun sebuah suara membuatnya benar-benar bangkit dengan segera. Taya berlari kecil ke arah pintu rumah walau tulang-tulang badanya masih kaku dan sarafnya nampak belum siap untuk digunakan.
Taya mematung di depan pintu. Seolah melihat bayangan Yoga yang baru saja berada di sana. Tapi kenyataannya, sepi. Sekarang tiada siapapun di rumah itu kecuali dirinya sendiri.
Taya membalikkan badannya dan berjalan dengan arah yang terseok. Nampak tidak semangat di pagi yang ceria. Ia duduk di meja makan yang agak tidak rapi, dan memandang kosong toples selai yang isinya tidak penuh lagi.
Taya mengambil satu potong roti tawar dengan tangan yang lemah. Mengunyahnya tanpa tambahan rasa sedikit pun. Lalu menelannya. Roti itu memasuki kerongkongannya dengan pahit. Sama dengan perasaannya pagi ini.
Pahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar