Selasa, 24 April 2012

To My Dearest Friend



***
A Letter for you….
***

Dear Gustia, sahabatku…
Teman terbaikku…
Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena sudah diberi kesempatan untuk mengenalmu. Kau masih ingat pertemuan pertama kita? Waktu itu kau masih anak baru di sekolah. Kau sangat pendiam, dan ke manapun kau pergi, earphone dan i-pod selalu menemanimu. Serta beberapa pengagum rahasia-mu yang tidak pernah membiarkan kau sendirian. Mereka selalu membuntutimu, kan? Kau sangat populer waktu itu, meskipun kau anak baru.
Dibandingkan dengan aku, yang meskipun menempati peringkat kedua di seluruh sekolah tapi sangat miskin pergaulan dan pemalu. Aku ingat sekali saat aku dipaksa oleh anak-anak nakal itu untuk mengerjakan tugas mereka, kau berteriak marah dan mengatai aku orang terbodoh sedunia yang menurut saja saat disuruh melakukan hal yang sebenarnya tidak aku sukai. Dalam hati, sebenarnya aku tertawa bahagia. Baru sekali itu ada orang yang terang-terangan memarahi aku.
Sejak saat itu, entah kenapa aku jadi ingin berteman denganmu. Menurutku, kau itu orang yang unik. Sangat pendiam, tapi bisa berisik di saat lainnya. Apa kau tahu betapa senangnya aku ketika akhirnya aku diberi kesempatan dekat denganmu? Kau ingat? Waktu itu aku nyaris ketinggalan bus. Kau yang baru saja naik menahan pintu bus dan meminta supirnya untuk menungguku. Saat aku mengucapkan terima kasih, kau malah melengos pergi. Tapi aku merasa beruntung, karena pada akhirnya kau mengajakku duduk di sebelahmu. Sepanjang perjalanan kita memang diam saja. Tapi aku merasa aku sangat beruntung.
Sekali lagi, aku berterima kasih pada Tuhan…
Dear Gustia, sahabatku…
Orang yang kuhargai dalam hidupku…
Aku merasa persahabatan kita berdua sama seperti kertas kosong yang belum ditulisi. Ada begitu banyak hal yang ingin aku tulis di atas kertas itu, bersamamu.
Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Tapi aku bukan orang yang banyak bicara, kau tahu itu, kan?
Sebelum aku mengenalmu, aku selalu menganggap aku ini orang biasa. Cuma sekedar siswa SMA yang kebetulan berotak cerdas tapi sama sekali buruk dalam bersosialisasi. Aku selalu merasa rendah diri. Akibatnya, aku jadi kurang menghargai diriku sendiri.
Lalu kau memarahiku.
Kau ingat? Lagi-lagi kau mengataiku bodoh karena aku diam saja saat mereka menjelek-jelekkan aku. Aku diam saja saat mereka bilang aku ini kutu buku aneh yang kerjanya hanya menempelkan mataku ke buku pelajaran. Awalnya, aku bingung kenapa malah kau yang marah dan membentak mereka. Padahal aku merasa baik-baik saja dikatai seperti itu. Tapi kau membuatku sadar, bahwa setiap makhluk hidup pasti berharga. Termasuk aku.
“Tidak ada satupun makhluk yang tidak berharga di dunia ini. Ulat kecil yang menjijikkan saja memiliki kegunaan sendiri. Itu artinya semua makhluk hidup di dunia ini berharga. Termasuk kau. Lalu kenapa kau malah tidak mau menghargai dirimu sendiri dengan membiarkan mereka menginjak-injakmu seperti itu??”
Kau bilang begitu waktu itu. Ingatkah kau, Gustia??
Pasti kau sudah lupa…
Tapi meskipun kau lupa, aku tidak akan pernah lupa. Kata-katamu itu kusimpan baik-baik dalam memori otakku, dan akan selalu kuingat bahkan setelah kehidupan ini kita lewati. Kata-katamu itu kujadikan pengingat bagiku untuk menghargai diriku sendiri.
Dan waktu itu aku menangis secara diam-diam. Kau tahu kenapa? Karena akhirnya ada seseorang yang mengatakan padaku bahwa aku ini berharga.
Tahukah kau, kau juga berharga. Bahkan sangat berharga bagiku…
Dear Gustia, sahabatku…
Orang yang selalu ada disampingku…
(Ataukah aku yang selalu ada disampingmu? ^^)
Aku selalu berterima kasih padamu karena selalu ada di sampingku kapanpun aku membutuhkanmu.
Aku masih ingat waktu itu kau diskors tiga hari oleh pihak sekolah karena sudah melawan guru dan membentak-bentaknya. Padahal kau melakukan itu untuk membelaku. Waktu itu aku dipaksa member contekan pada seorang teman sekelas, dan saat aku menuliskan jawabannya, aku tertangkap basah oleh pengawas ujian. Aku dimarahi habis-habisan, dan tentu saja aku hanya bisa diam dan mengutuk kebodohanku waktu itu. Tapi kau berdiri dan membelaku.
Kau membelaku yang seperti ini sampai seperti itu.
Kau dihukum karena aku, padahal seharusnya akulah yang dihukum.
Tapi kau tidak marah padaku. Oh, kau marah. Tapi kau marah karena aku terlalu penakut untuk berkata tidak. Bukan karena kau dihukum karena aku. Aku merasa sangat bersalah waktu itu, sekaligus bahagia. Bersalah karena gara-gara aku kau dihukum, dan bahagia karena kau mau membelaku.
Kau tahu, Gustia, kau itu teman yang langka yang tidak bisa aku temukan di manapun…
Dan sejak itu aku berjanji akan melakukan hal yang sama untukmu. Bukan membelamu sampai harus diskors, lho… Tapi menyediakan diriku untuk membantumu saat kau membutuhkan aku.
Aku tidak bercanda saat aku mengatakan bahwa aku akan selalu ada disampingmu.
Tapi aku benar-benar menyesal tidak bisa menepati kata-kataku itu.
Saat kau kehilangan seseorang yang sangat kau sayangi, aku malah tidak ada disampingmu untuk menghiburmu dan memberimu kekuatan. Aku ingat waktu itu aku sedang terbaring di rumah sakit karena tifusku kambuh. Dan kau datang menjengukku dengan wajah ceria yang dibuat-buat. Waktu aku tanya ada apa, kau malah menggeleng dan berkata bahwa kau baik-baik saja.
Esoknya kau tidak masuk. Tentu saja aku khawatir. Aku takut kau tertular penyakitku. Tapi kemudian aku mendapat kabar bahwa kau baru saja kehilangan nenekmu. Orang yang selama ini tinggal bersamamu dan membesarkanmu sementara orangtuamu berada di negara lain. Di saat kau khawatir pada keadaan nenekmu yang memburuk, kau masih menyempatkan diri menjengukku dengan wajah ceria.
Kau tahu, Gustia? Aku menangis di toilet. Sendirian. Lagi-lagi mengutuk ketidak-berdayaanku.
Tapi lagi-lagi kau menghiburku. Kau mengatakan bahwa kau orang yang kuat. Dan bahwa keceriaanku bisa membantumu untuk melupakan kesedihanmu. Dan bahwa kau mengerti posisiku saat itu.
Rasanya, aku ingin memukul diriku sendiri.
Kenapa kau bisa begitu kuat untuk dirimu sendiri?? Padahal aku ingin sekali jadi orang yang memberimu kekuatan. Tapi kebalikannya, justru kaulah yang menjadi kekuatan bagiku.
Gustia…
Kau benar-benar sangat berharga…
Dan langka ^^
Dear Gustia, sahabatku…
Teman sejatiku…
Sudah berapa lama kita saling kenal?
Sudah berapa lama kita bersahabat, Gustia?
Sekarang kita sedang meniti masa depan masing-masing. Kau memutuskan untuk belajar di luar negeri, dan tinggal bersama orang tuamu. Aku sedih. Tapi aku harus mendukungmu sepenuh hati, kan? Lagipula, dunia ini kecil. Dimanapun kau berada, kapanpun kita ingin bertemu, kita masih bisa bertemu. Bahkan dengan menatap ke langit, aku merasa kau ada di sampingku. Karena, tentu saja kita berada di bawah langit yang sama, ya kan??
Terakhir kali kita bertemu, kau sudah berubah.
Bukan sikap, maksudku penampilanmu.
Kau terlihat lebih dari biasanya. Dan aku semakin menyayangimu, sahabatku. Kau menceritakan semuanya padaku. Bagaimana kehidupanmu di sana, sekolahmu, teman-temanmu, semuanya. Aku pun ingin sekali menceritakan. Semuanya.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku ceritakan…
Dan hal itu, sekarang akan aku katakan padamu melalui tulisan ini…
Dear Gustia, sahabatku…
Orang yang kusayangi melebihi hidupku…
Aku menulis surat ini di rumah sakit ini. Rumah sakit yang sudah sebulan ini menjadi rumah baru bagiku. Sebelum pertemuan terakhir kita, aku sudah mengidap sebuah penyakit. Tapi aku tidak bisa menceritakannya padamu. Wajah bahagiamu yang begitu berseri-seri saat kita bertemu, mana bisa aku hancurkan hanya karena cerita tentang penyakitku ini. Aku ingin pertemuan kita kali itu adalah pertemuan yang diakhiri dengan wajah bahagiamu.
Gustia…
Aku menyanggupi tawaran pelaksanaan operasi yang diberi oleh dokter yang merawatku. Aku ingin sekali tetap hidup, dan bisa lebih lama berada di sampingmu. Karena itu, aku setuju saat dokter menawarkan pelaksanaan operasi itu padaku. Lagipula, tingkat keberhasilan operasi itu sekitar 70%. Aku percaya aku akan baik-baik saja.
Aku akan baik-baik saja, kan,Gustia? Kau percaya aku akan baik-baik saja, kan?
Tapi, untuk berjaga-jaga, aku menulis surat ini.
Sebelumnya, dokter mengatakan padaku bahwa tidak ada keberhasilan 100% dalam sebuah operasi. Dan apapun bisa terjadi saat dan sesudah operasi. Jadi, untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padaku, aku menulis surat ini. Setidaknya, aku bisa mengatakan padamu betapa aku menyayangimu, sahabatku…
Dear Gustia, sahabatku…
Aku sudah kehabisan kata-kata yang bisa menunjukkan betapa aku sangat menghargai dan menyayangimu. Sudah tidak ada lagi kata-kata yang bisa menunjukkan padamu betapa bangganya aku menjadi sahabatmu…
Meski aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, kau tahu kan, seperti apa posisimu di hatiku??
Ya, kan, Gustia??
Aku berharap, kita bisa bertemu lagi…
Tidak dikehidupan yang sekarang, maka di kehidupan yang berikutnya, kita pasti bertemu lagi…
Berharap saja semoga kau tidak perlu membaca surat ini. Berharaplah semoga kau bisa mendengarkan isi surat ini dari mulutku langsung.
Tapi jika tidak, berdoalah untukku.
Dan jangan menangisi aku…
My dear friend…
My dearest friend…

I’m thankful for you
Its only you I value, that is friend






http://www.hazalinalperon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar